Chapter 27
Surat dari Farah
Setelah
selesai berdiskusi tentang penempatan Capella, Ellen, dan Alex, aku kembali ke
kamarku setelah sekian lama, dan langsung menjatuhkan diri telentang di tempat
tidur.
"Hah—...
Aku lelah sekali."
Aku pikir aku
bisa beristirahat setelah kembali dari Renalute, tetapi ternyata ada reuni tak
terduga dengan Kuki dan Biskuit. Tapi, ngomong-ngomong, mengapa mereka ikut
denganku? Aku harus menanyakan hal itu pada mereka suatu hari nanti.
Mengenai Capella,
aku sempat bertanya pada Garun setelahnya, dan dia bilang Capella sangat
berbakat.
Dia bahkan
menjamin bahwa Capella akan bisa bersikap layaknya kepala pelayan tanpa masalah
dalam waktu dekat. Yah, karena dia mantan anggota Departemen Kegelapan,
mungkin hal-hal semacam itu memang keahliannya.
Aku juga
harus mencari bengkel untuk Ellen dan Alex, dan aku punya beberapa barang yang
ingin kuminta mereka buat. Tumpukan pekerjaanku banyak sekali... Saat itu, aku
teringat sesuatu.
"Benar...
Aku dapat
surat dari Farah."
Aku
bangkit dari tempat tidur, mengambil surat Farah dari barang bawaanku. Lalu,
aku kembali berbaring telentang di tempat tidur. Ini sedikit tidak sopan, tapi
tidak ada yang melihat, jadi tidak apa-apa.
"...Entah
kenapa, aku deg-degan."
Sambil berpikir begitu, aku membuka
amplop dan membaca surat itu.
"........................"
Aku membaca surat itu dalam diam,
merasakan wajahku semakin memerah. Surat dari Farah dimulai dengan kekhawatiran
tentang kondisiku karena aku mudah mabuk perjalanan.
Kemudian, dia menuliskan betapa hatinya
diselamatkan berkat diriku, dan rekonsiliasi dengan Eltia.
Yang terpenting, dia menuliskan
perasaannya bahwa meskipun ini adalah pernikahan politik dengan Kekaisaran, dia
hanya ingin menikah denganku sekarang.
Dia juga menulis bahwa dia memiliki
sifat langka sebagai seorang Dark Elf, dan dia ingin memberitahuku
tentang hal itu suatu hari nanti.
Terakhir,
tertulis, "Apa yang saya sampaikan di Aula Utama Istana tidak ada
kebohongan sama sekali. Saya mencintai Anda, Tuan Reed."
"...!!"
Setelah
selesai membaca surat itu, aku yakin wajahku memerah dan aku menyeringai. Aku merasa malu dan
berguling-guling di tempat tidur sendirian. Lalu, tanpa kusadari, aku tertidur.
Aku lupa tentang pengunjung yang pasti datang ke kamarku setiap pagi di wilayah
Baldia...
◇
"Uhh...
m? Eh? Apa aku ketiduran begitu saja?"
"Selamat
pagi~, Kakak!!"
Saat
aku bangun, Mel menatapku dari samping tempat tidur dengan senyum menyeringai.
Kuki dan Biskuit juga ada di bahunya.
"Selamat
pagi, Mel. Kamu terlihat sangat senang, apakah ada hal baik yang terjadi?"
"Iya!!
Ngomong-ngomong, Kakak suka Kakak Putri ya?"
"Heh...?
Kakak Putri itu siapa?"
Ini pertama
kalinya aku mendengar kata itu dari Mel, dan aku tidak tahu siapa yang dia
maksud. Mungkin karena aku baru bangun... Lalu, kesadaranku terbangun, dan aku
tersentak.
Surat dari Farah
yang ada di tanganku sebelum tidur telah hilang. Seketika itu juga, firasat
buruk menyeruak mendengar kata 'Kakak Putri' yang diucapkan Mel tadi.
"M-Mel,
apakah tidak ada surat di atas tempat tidur?"
"Di
atas tempat tidur sih tidak ada, tapi ada di lantai," kata Mel sambil
menyeringai, lalu menyerahkan surat itu kepadaku.
"Ah,
terima kasih."
"Ehehe,
sama-sama."
Setelah
menerima surat itu dan mengucapkan terima kasih, aku langsung bertanya pada
Mel.
"Ngomong-ngomong,
apakah Mel membaca isinya?"
"Iya,
aku tahu Kakak Putri sangat sayang sama Kakak."
"Ugh!!
M-Mel, kamu tidak boleh memberitahukan isi surat itu pada siapa pun, ya. Jika
kamu memberitahukan isinya pada orang lain, aku harus memarahi Mel.
Mengerti?"
"Iyaaa!!
Mengerti. Ini rahasia antara aku dan Kakak, ya."
"Ahaha...
benar," jawabku sambil tersenyum kecut pada Mel. Aku memutuskan bahwa aku
ceroboh dalam masalah surat ini. Lebih dari itu, aku penasaran dengan kata-kata
yang diucapkan Mel sejak tadi, jadi aku memberanikan diri bertanya.
"Ngomong-ngomong,
kenapa Farah disebut 'Kakak Putri'?"
"Soalnya,
dia itu Putri dan akan menjadi Kakak-ku, kan? Jadi, aku mau memanggilnya Kakak
Putri, boleh tidak?"
"Kurasa
tidak dilarang, sih. Ngomong-ngomong, aku juga membawa surat dari Farah untuk
Mel, lho."
"Benarkah!?
Tunjukkan, tunjukkan!!"
Mel
pasti tidak menyangka akan mendapat surat dari Farah juga. Dia sangat gembira.
Aku mengambil surat yang belum dibuka dari barang bawaan tempat aku mengambil
surat Farah kemarin. Sambil
menunjukkan surat itu pada Mel, aku membuka amplopnya dan mengeluarkan isinya.
"Kalau
begitu, aku bacakan, ya."
"Iya!!"
Surat yang
ditujukan Farah untuk Mel berisi tentang pernikahan kami yang akan segera
terjadi. Selain itu, Farah sangat menantikan untuk bertemu Mel, dan dia sangat
menanti hari di mana mereka menjadi keluarga. Setelah selesai membaca surat
itu, Mel tersenyum lebar dan matanya berbinar.
"Wah,
aku juga ingin segera ngobrol dengan Kakak Putri."
"Kalau
begitu, maukah kita menulis surat untuk Farah bersama-sama lain kali?"
"Iya,
aku juga mau menulis!!"
Setelah hari
itu, kejadian ini menjadi pemicu, dan kami bertiga—aku, Mel, dan Farah—mulai
berkorespondensi. Ngomong-ngomong, saat aku mengirim surat kepada Farah, aku
juga mengembalikan surat yang dititipkan Laysis. Untuk memastikan dia tidak
akan pernah mengirim surat kepada 'Tier' lagi, aku mengubah tulisan tanganku
dan menulis di atas amplop surat yang belum dibuka, "Apa Anda masih
pantas menjadi Pangeran, si lemah".
Ini bukan balasan dendam pada kakak laki-laki yang memperlakukanku seperti pesuruh. Ini demi membuatnya menyerah. Aku meyakinkan diriku sendiri, mengeraskan hati.


Post a Comment