Chapter
2
Surat
dari Chris
"Tuan Reed, ada surat datang dari
Nona Chris di Barust. Bolehkah
saya masuk?"
"Ya,
silakan."
Hari itu, Capella
yang datang ke kamarku, dengan sopan menyerahkan sepucuk surat dan membungkuk.
"Terima
kasih, Capella," jawabku sambil menerima surat itu, lalu aku menarik napas
dalam-dalam dengan wajah tegang.
Aku bisa
dengan mudah membayangkan isi surat dari Chris pada saat ini.
Itu pasti
mengenai keberhasilan atau kegagalan pembelian budak di Barust.
Aku perlahan
membuka segel surat itu dan memeriksa isinya. Begitu selesai membaca surat, aku
gemetar, baik tubuh maupun suaraku, "B-Bagaimana mungkin...!?"
"Ada
apa, Tuan Reed?"
Capella, yang
biasanya tenang, mengernyitkan alisnya dan menunjukkan sedikit keterkejutan.
Aku segera berbalik menghadapnya, memperlihatkan kegembiraan yang meluap.
"Aku
berhasil, Capella. Chris berhasil melakukannya! Dia menulis bahwa dia berhasil
membeli semua anak Beastkin sekaligus, dan sesuai anggaran!"
"Selamat,
Tuan Reed."
"Ya,
dengan ini aku bisa melanjutkan rencana ke tahap berikutnya... Chris, terima
kasih banyak."
Bohong jika
kukatakan aku tidak merasa cemas sampai surat darinya tiba.
Meskipun aku
ingin menyambut semua anak Beastkin ke Wilayah Baldia, aku berpikir itu
akan sulit karena ada pembeli lain. Tetapi, Chris pasti berhasil bernegosiasi.
Mataku tanpa
sadar memanas, dan air mata mengalir alami membasahi pipi. Dan tetesan air mata
itu jatuh membasahi surat.
"Ah...
aku harus menjaga ini baik-baik, padahal aku juga harus menunjukkannya kepada
Ayah..."
Saat aku
buru-buru menyeka air mata yang jatuh di surat, Capella bertanya padaku untuk
memastikan.
"Tuan Reed,
bagaimana dengan laporan kepada Tuan Liner?"
"Tentu
saja, aku akan pergi sekarang juga."
Setelah itu,
aku membawa surat itu dan pergi ke kantor Ayah bersama Capella.
◇
"Ayah,
ini aku. Bolehkah aku masuk?"
"...!? Reed!
T-Tunggu sebentar!"
Tidak seperti
biasanya, jawaban dari Ayah terdengar panik. Ada apa, ya?
Setelah jeda
sebentar, suara Ayah kembali terdengar dari dalam ruangan.
"Ehem... Boleh."
"...Kalau begitu, permisi."
Saat aku memasuki kantor, Ayah duduk di
mejanya seperti biasa. Namun, ada sosok tak terduga di sana, yang membuat
mataku terbelalak.
"...Selamat datang, Reed."
"Ibu, kenapa Ibu ada di sini...?"
Di
sana ada Ibu, duduk di kursi roda yang kuberikan sebagai hadiah beberapa hari
lalu.
Aku
tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku dan perlahan menatap Ayah dengan
pandangan curiga.
Ayah,
yang tidak biasanya, menunjukkan ekspresi yang sangat canggung, dan berdeham
seolah ingin mengalihkan pembicaraan, "...Ehm!?"
"Bukankah Sandra juga bilang bahwa
jalan-jalan di sekitar rumah dengan kursi roda baik untuk rehabilitasi dan
perubahan suasana hati? Sesekali, aku pikir tidak ada salahnya menghabiskan
waktu bersama di kantor ini."
Baik Ayah
maupun Ibu sama-sama terlihat sedikit merona. Saat itu, aku samar-samar mengerti dan bergumam,
"Ah..." lalu membungkuk.
Ketika aku
mengangkat kepala, aku tersenyum pada mereka sambil memberikan tatapan hangat.
"...Maaf
karena aku tidak peka. Sepertinya aku mengganggu waktu berduaan kalian. Kalau
begitu, aku akan permisi sebentar."
““A-Apa!?””
Ayah dan Ibu
menunjukkan ekspresi seolah tidak percaya dengan pendengaran mereka.
Terutama Ibu,
wajahnya langsung memerah. Entah apa yang mereka lakukan berdua.... Saat aku
berbalik hendak keluar dari kantor, suara Ibu yang panik terdengar dari
belakangku.
"Re-Reed,
tunggu!! Aku memang sudah berencana untuk kembali ke kamarku. Benar, Capella,
antarkan aku ke kamar. Ini... perintah."
Aku dan Capella
saling pandang melihat Ibu yang tidak biasanya begitu panik dan berbicara
dengan nada tegas. Setelah itu, aku menjawab Ibu dengan ekspresi bingung.
"Apa Ibu
tidak apa-apa? Ibu boleh menghabiskan waktu berduaan dengan Ayah, kok."
"Bukan,
itu bukan hal yang perlu dipikirkan oleh Reed, anakku. Ayo, Capella,
tolong."
Meskipun
melihat wajah Ibu yang memerah, Capella tetap tanpa ekspresi dan membungkuk,
"Saya mengerti."
Kemudian, Capella
dengan sigap bergerak ke sisi Ibu, berkata, "Permisi," lalu berputar
ke belakang kursi roda Ibu.
"Kalau
begitu, mari kita pindah ke kamar Anda."
"Ya,
tolong. Sayang, aku permisi dulu, ya."
Ibu
mengangguk sedikit pada Capella, lalu mengalihkan pandangannya pada Ayah dan
tersenyum ramah.
"Ya,
kalau ada waktu lagi, aku akan ke kamarmu."
"Ya, aku
akan menunggumu."
Aku
bertanya-tanya, apakah aku saja yang merasa ada aroma manis yang melayang di
kantor ini?
Namun, yang
paling merasakan aroma itu mungkin Capella, yang berdiri di antara mereka
berdua. Tapi, dia tetap mempertahankan ekspresi tanpa emosi di tengah suasana
seperti itu.
Seorang
pemuda tampan tanpa ekspresi, diapit oleh sepasang suami istri yang saling
menatap dan memancarkan suasana manis... Pemandangan ini mungkin agak lucu.
Setelah itu,
Ibu meninggalkan kantor didorong oleh Capella.
Ketika hanya
kami berdua di kantor, Ayah terlihat agak gerah, jadi aku menatapnya dengan
pandangan hangat.
"Ayah... Bolehkah aku mengajukan
satu hal sebelum masuk ke pokok bahasan?"
"...Apa," kata Ayah, lalu
menyesap cangkir teh di meja, mungkin untuk menenangkan diri. Mengikuti
tindakannya, aku menegurnya.
"Ibu masih dalam masa pemulihan,
jadi jangan melakukan hal yang bisa membebani tubuhnya, ya? Yah, kurasa kalau
hanya ciuman, itu tidak masalah..."
"...!? Nguk, Uhuk Uhuk!? Bodoh, jangan menggoda orang tuamu!
K-Kalau begitu,
apa pokok bahasannya!?"
Aku mendekati
Ayah yang langka sedang gelagapan, sedikit jengkel, lalu perlahan mengeluarkan
surat Chris dari balik pakaianku.
"Aku
mendapat laporan surat dari Chris di Barust, mengatakan bahwa pembelian budak
telah selesai tanpa masalah. Dan jumlahnya adalah seratus enam puluh dua
orang."
"Begitu,
Chris berhasil melakukannya, ya. Tapi, setelah ini akan sulit. Reed, jangan
lengah."
Aku
mengangguk pelan, lalu menatap Ayah dengan tatapan tajam.
"Tentu
saja. Aku akan menyelesaikannya."
Setelah itu, aku dan Ayah melakukan penyesuaian akhir yang diperlukan dan mengatur orang untuk menyambut anak-anak Beastkin itu.


Post a Comment