Chapter 11
Menuju Langkah Berikutnya
Setelah
tungku arang selesai dan proses pembuatan arang berhasil, aku mengunjungi
kantor kerja di rumah bangsawan untuk membahas rencana ke depan.
Aku
dan Ayah duduk berhadapan seperti biasa, dipisahkan oleh meja. Namun, yang
berbeda dari biasanya adalah di atas meja kini terdapat 'arang hitam' yang baru
saja kami buat. Ayah mengambil arang itu untuk memeriksanya, lalu mengangguk
pelan.
"Hmm.
Benar, ini arang kayu. Kerja bagus, Reed. Ini akan menjadi prestasi yang luar
biasa di wilayah kita. Proses dan mekanisme pembuatannya harus dirahasiakan
selama mungkin."
"Aku
mengerti soal kerahasiaannya," aku mengangguk, lalu mengalihkan
pembicaraan ke inti masalah.
"Kalau
begitu, Ayah. Mengenai masalah utama, yaitu rencana bisnis yang kuserahkan
tempo hari. Apakah aku boleh menganggap ini sebagai izin darimu?"
Ayah
sepertinya sudah menduga topik ini, jadi dia tidak terlihat terkejut. Namun, ia mengerutkan kening sambil
menghela napas, "Haa..."
"Kalau
sudah begini, tidak ada alasan untuk melarangnya. Akan tetapi, mengenai
pembelian budak, meskipun kita melalui Christie Trading Company, kita
harus bergerak dengan hati-hati. Setelah kamu punya rencana, pastikan kamu
melapor dan meminta persetujuan dariku sebelum mengambil keputusan. Ini
mutlak."
"Baik.
Aku mengerti," aku mengangguk pura-pura tenang, meski dalam hati aku
bersorak kegirangan dan mengepalkan tangan.
Kurikulum
pendidikan yang kuminta pada Sandra, Diana, dan Capella memang belum selesai,
tapi ini adalah langkah pertama. Namun, diskusi belum berakhir.
Aku memasang
ekspresi serius, berdeham, lalu mulai membahas topik berikutnya dengan Ayah.
"Ayah.
Ada hal baru yang ingin kuminta izinnya. Aku ingin membangun 'barak' di dekat tungku arang.
Apakah itu diizinkan?"
"Maksudmu,
barak untuk para budak, begitu?"
Ayah
memasang ekspresi agak curiga. Padahal, masalah ini
sudah tertulis dalam proposal bisnis.
"Ya, benar. Karena kami
membutuhkan cukup banyak orang, aku ingin membangun barak yang agak besar. Mengenai jumlah orangnya... mungkin
sekitar dua ratus orang."
"Apa
katamu! Kau berencana membeli sampai dua ratus
budak!?"
Ekspresi Ayah tetap tegas, tetapi ia
meninggikan suara karena terkejut. Aku buru-buru menambahkan.
"E-etoo, aku memang
mempertimbangkan skala sebesar itu pada akhirnya, tapi aku berencana membelinya
sedikit demi sedikit. Aku juga punya banyak rencana lain selain pembuatan
arang."
"Meskipun begitu, kau berencana
menyiapkan dua ratus orang..." Ayah memegang keningnya sambil menunduk.
Hal-hal yang kupikirkan untuk
mengembangkan Wilayah Baldia di masa depan pasti membutuhkan tenaga kerja. Selain itu, kami tidak bisa mengetahui
bakat atribut budak pada saat pembelian. Jadi, kami pasti membutuhkan jumlah
tertentu.
Mengingat
keberhasilan pembuatan arang dan kemungkinan sihir dari 'Bakat Atribut Pohon'
yang kutunjukkan, aku kembali membahas cerita 'Telur Columbus' tempo hari.
Setelah itu, aku menjelaskan kembali keperluannya. Ayah memasang wajah sulit,
tetapi akhirnya mengangguk pelan.
"...Baiklah.
Aku mengizinkan pembangunan barak."
"Terima
kasih! Kalau begitu, karena aku sudah menduga ini akan terjadi, aku membawa
draf rencana desain barak. Mohon diperiksa."
"Kau
benar-benar sudah bersiap-siap, ya..." kata Ayah, meski ia tetap melihat
dokumen itu.
Setelah
itu, kami berdua berdiskusi sebentar tentang bagaimana barak itu akan dibangun.
Dalam hati, aku kembali berterima kasih kepada Ayah yang selalu mau
mendengarkanku.
◇
Hasil
diskusi menunjukkan bahwa Ayah hampir menyetujui semua permintaan yang
kuajukan.
Ayah
mengakui bahwa potensi penerapan kurikulum pendidikan pada budak layak untuk
diinvestasikan.
Hanya
saja, persetujuan itu terasa enggan, dan Ayah masih memasang wajah yang sangat
masam.
"Huh...
Reed, aku sudah menyetujuinya, tapi pikirkan juga soal 'dana'. Dengan dana
pembelian budak ditambah biaya pembangunan barak, investasi awalnya pasti akan
sangat besar. Kamu juga harus memikirkan arus keuangannya."
"Ya.
Mengenai hal itu, aku berencana memutar semua keuntungan dari bisnis kosmetik.
Selain itu, ketika aku berdiskusi dengan Chris tentang rencana bisnis ini, aku
sudah membicarakan bahwa dia bisa memberikan dana jika Ayah memberikan
izin."
Ayah
sedikit mengernyit, lalu bergumam pelan dengan wajah masamnya.
"Hah...
Chris juga pasti repot ya."
"Eh? Ayah, ada apa dengan
Chris?" Aku tidak mendengarnya dengan jelas, jadi aku bertanya balik tanpa
sengaja.
"Tidak, bukan apa-apa. Lakukan
pertemuan dengan Chris, dan jika ada masalah, pastikan kamu berkonsultasi
denganku."
Aku sedikit penasaran dengan
gumamannya, tetapi aku memutuskan untuk menyampaikan hal lain yang kupikirkan
penting untuk langkah selanjutnya.
"Aku
mengerti. Omong-omong, Ayah. Aku ingin mendiskusikan hal lain di luar masalah
ini."
"Apa
lagi. Kau melakukan sesuatu lagi di luar pengetahuanku...?"
Mata Ayah
memancarkan kecurigaan, dan dia menatapku tajam. Aku buru-buru menggelengkan
kepala untuk menyangkal.
"T-tidak
ada yang kulakukan, kok. Hanya saja, demi masa depan, aku berencana
memberitahukan pengetahuan khusus dari kehidupan lamaku kepada beberapa
orang."
"...Siapa
yang kamu maksud dengan 'beberapa orang'?"
Ekspresi
Ayah langsung menjadi tajam, tetapi aku tidak gentar dan menjelaskan dengan
hati-hati siapa yang akan kuberitahu, termasuk alasannya.
Jika
rencana yang sedang kupikirkan ini membuahkan hasil dan berhasil, hal-hal yang
dapat kulakukan dengan pengetahuan yang kumiliki akan semakin banyak dan
beragam.
Saat
itu, untuk kerja sama yang lebih mendalam dengan semua orang, aku harus
membicarakan tentang pengetahuanku. Ayah merenung sejenak dengan wajah sulit,
lalu berkata pelan.
"Baiklah.
Namun, aku harus
hadir saat kamu membicarakannya. Itu akan menambah kekuatan persuasi."
"Aku
mengerti. Kalau begitu, nanti aku akan mengumpulkan semua orang yang kusebutkan
namanya."
Ayah yang
tegas dan berwajah tajam itu menghela napas, "Haa..." lalu memegang
keningnya dan menunduk. Aku pun cemas dan bertanya.
"Ayah,
kamu baik-baik saja...? Jika ada yang tidak beres, tolong beritahu gejalanya. Aku akan
menghubungi Nikeek dari Renalute untuk mencari ramuan yang bagus, dan meminta
Sandra meraciknya."
"Tidak
perlu... Itu kekhawatiran yang tidak perlu. Lebih baik kamu lanjutkan, pasti ada hal lain yang ingin
kamu bicarakan, kan?"
"B-baik.
Kalau begitu, untuk masalah berikutnya adalah..."
Ayah mengangkat wajahnya, menatapku sambil memancarkan aura yang sulit diungkapkan. Tertekan oleh aura itu, aku melanjutkan pembicaraan seperti yang ia minta.


Post a Comment