Chapter 22
Tanda-tanda pada Nunnaly
Hari itu,
aku, Mel, dan Ayah berkumpul di kamar Ibu. Kami menahan napas, menyaksikan Sandra melakukan
pemeriksaan pada Ibu.
Ibu, yang sedang
diperiksa, duduk di tempat tidur dengan hanya bagian atas tubuh yang terangkat.
Setelah selesai dengan seluruh pemeriksaan, Sandra tersenyum lembut setelah
melihat Ibu dan kami.
"Dibandingkan
dengan sebelumnya, jumlah Mana dan kondisi fisik Nyonya pasti membaik. Tidak
salah lagi kalau ini adalah efek dari obat. Saya rasa 'kesembuhan total' bisa
dicapai jika pengobatan terus dilanjutkan."
"...!?"
Benarkah...? Aku... sungguh bisa mengalahkan penyakit ini...?"
Di tengah
ekspresi terkejut kami, Ibu bertanya lagi dengan suara bergetar untuk
memastikan. Sandra mengangguk pelan.
"Ya, Nyonya Nunnaly.
Kita tidak boleh lengah, tetapi Nyonya pasti pulih sedikit demi sedikit. Jika
terus berusaha seperti ini, Nyonya pasti bisa mengalahkan penyakit ini dalam
waktu dekat."
"...!!"
Ibu memejamkan mata, sedikit menunduk, lalu mulai terisak pelan sambil menutup
mulutnya dengan kedua tangan. Melihat keadaan itu, Ayah diam-diam mendekat dan
memeluk Ibu dengan lembut.
"Syukurlah... Benar-benar syukurlah. Tinggal sedikit
lagi, mari kita berjuang bersama..."
"Ya, Sayang..."
Melihat Ibu dan Ayah, mataku memanas, dan air mata mulai
mengalir di pipiku.
Ketika aku
mendapatkan kembali ingatan kehidupan masa laluku, aku memutuskan untuk
menyelamatkan Ibu bagaimanapun caranya. Tapi, ada ketakutan di sudut hatiku, Mungkinkah
aku tidak akan sempat?
Aku tidak bisa
berbohong jika mengatakan tidak ada kecemasan, karena aku tidak tahu apakah
obat yang kubuat benar-benar akan manjur kecuali jika aku mencobanya.
Sekarang,
meskipun perlahan, tanda-tanda 'kesembuhan total' akhirnya mulai terlihat. Saat
aku terharu oleh hal itu, lengan bajuku ditarik oleh Mel yang ada di sampingku.
"Hmm...? Ada
apa, Mel?"
"Kakak, apa
Ibu akan sembuh?"
Mel sedikit
memiringkan kepala, matanya penuh harap. Mel pasti merasakan sesuatu tentang
kondisi Ibu. Aku menyeka air mata dengan lengan baju, lalu mengangguk sambil
tersenyum.
"Ya. Tidak
sekarang, tapi jika kita melanjutkan pengobatan ini, Ibu akan 'sembuh'."
"...Sungguh?
Sungguh-sungguh?"
Mel menunjukkan
ekspresi sangat gembira, tetapi masih ada sedikit keraguan di matanya. Aku
tersenyum lagi pada Mel.
"Ya,
sungguh-sungguh."
Mel yang mengerti
maksudku, tersenyum polos dan langsung memeluk Ibu dan Ayah dengan erat sambil
menangis.
"Ibu!!
Ayah!!"
Keduanya terkejut
sejenak karena Mel tiba-tiba memeluk mereka, tetapi mereka segera tersenyum dan
memeluknya dengan lembut. Melihat pemandangan itu, mataku kembali memanas, dan
aku menyeka air mata sekali lagi dengan lengan baju. Kemudian, Ibu tersenyum lembut
ke arahku.
"Reed...
Kemarilah juga."
"Eh...?
Tapi, itu..."
Aku ragu-ragu
karena sedikit canggung. Namun, Mel yang menyadari keraguanku, berlari ke
arahku, menarik tanganku, dan menarikku mendekat dengan paksa.
"Kakak keras
kepala! Kapan pun saatnya, Kakak boleh bermanja-manja."
"Benar
juga... Kau benar... Ibu, apakah aku boleh?"
Ketika aku bertanya dengan sedikit malu, Ibu memelukku ke
dalam pelukannya dengan senyum penuh kasih.
"Terima kasih, Reed. Aku sudah banyak mendengar dari
Rainer. Ini semua berkat
kamu..."
"T-tidak...
Itu... Tapi... A-aku..."
Setelah itu, aku tidak bisa berhenti menangis dalam pelukan Ibu, tanpa mempedulikan orang lain. Ibu terus memberiku pelukan hangat sampai aku berhenti menangis dan tenang....
◇
Setelah beberapa saat, Ibu berbisik lembut kepadaku yang
berada dalam pelukannya.
"Fufufu...
Berada seperti ini mengingatkanku pada masa ketika Reed masih lebih kecil. Apa
kamu sudah sedikit tenang?"
"...Ya. Terima kasih, Ibu."
Aku menyeka wajahku dengan lengan baju sambil sedikit
mengendus, lalu mengangkat wajahku dari pelukan Ibu.
"Fufufu... Sudah lama aku tidak melihatmu seperti
itu." Kata Ayah, dan Mel yang berada di samping juga mengintip wajahku,
lalu tertawa riang.
"Kakak... Mata Kakak merah sekali karena terlalu banyak
nangis, ya? Lebih cengeng daripada aku. Hehehe."
"Fufufu... Benar juga. Sepertinya aku lebih cengeng dari yang
kukira."
Aku
membalas Ayah dan Mel dengan senyuman. Ibu juga tersenyum bahagia melihat
interaksi kami. Saat itu, aku tersentak, menatap wajah Ibu, dan berkata.
"Ibu,
aku lupa. Sebenarnya hari ini aku punya sesuatu yang ingin kuperlihatkan.
Tunggu sebentar, ya."
"Oh,
apa itu?"
Aku
membawa 'kursi roda' yang sudah disiapkan di luar kamar ke dalam, lalu mulai
menjelaskan kepada Ibu yang tampak terkejut.
"Ini
adalah 'kursi roda' yang dibuatkan oleh Ellen dan Alex, sepasang pengrajin Dwarf
bersaudara. Karena menggunakan bahan baru, aku yakin kenyamanannya jauh lebih
baik daripada kursi roda konvensional. Aku menyiapkannya karena kupikir Ibu
akan membutuhkannya seiring dengan membaiknya kondisi kesehatan."
'Kursi
roda' ini baru saja kuambil saat aku mengunjungi bengkel Ellen dan Alex
beberapa hari yang lalu. Bahan baru yang kumaksud adalah 'ban karet' dan 'besi'
yang digunakan. Kursi roda yang ada di dunia ini pada dasarnya terbuat dari
'kayu', sehingga mobilitas dan kenyamanannya kurang baik. Oleh karena itu, aku
meminta Ellen dan yang lainnya untuk membuat 'kursi roda' sekaligus sebagai uji
coba prototipe ban karet dalam proses pembuatan Charcoal Car.
Ketika
aku menjelaskan bahwa aku ingin Ibu menggunakannya, Ellen dan Alex sangat
termotivasi dan berkata akan 'membuatnya dengan sepenuh hati'.
Dan,
kursi roda yang telah selesai, karena menggabungkan ide-ideku, bentuknya hampir
sama dengan kursi roda yang ada di ingatan kehidupan masa laluku. Aku juga
mencobanya sendiri, dan kenyamanannya cukup bagus.
Ibu
menunjukkan ekspresi terkejut dan sedikit bingung. Di antara kami, Mel-lah yang
matanya berbinar melihat kursi roda itu.
Mel
mendekati kursi roda dengan penuh rasa ingin tahu, matanya bersinar saat dia
melihat dan menyentuhnya di sana-sini.
"Wah!? Ini
hebat. Kalau naik ini, Ibu bisa keluar rumah juga?"
Merespons
kata-kata Mel, Sandra menundukkan kepala dan berpikir sejenak, lalu mengangkat
wajahnya dan tersenyum.
"Ya, benar.
Karena kondisi Nyonya Nunnaly juga membaik, saya rasa 'kursi roda' tidak
masalah untuk digunakan di dalam mansion, sekaligus sebagai rehabilitasi dan
perubahan suasana."
"Sungguh!?
Hore! Ibu, asik!" Ibu mengangguk gembira pada Mel yang berseru riang
dengan senyum lebar, lalu mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Ya, aku
juga senang. Terima kasih, Reed."
"Tidak,
aku juga senang Ibu senang."
Saat itu, Ayah,
yang menyaksikan interaksi kami di samping, tampak memikirkan sesuatu dan
menyeringai.
Lalu, dia
mendekati Ibu dan dengan lembut menggendongnya dalam pelukan putri. Ibu
terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu, wajahnya memerah.
"A-Ayah, ada
apa tiba-tiba!?"
"Fufufu...
Dokter sudah mengizinkan, kan. Jadi, aku harus segera
melakukannya."
Ayah dengan hati-hati membawa Ibu ke kursi roda dan dengan
perlahan mendudukkannya.
Meskipun hanya sebentar, Ibu tampak malu karena digendong di
depan kami, dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Tapi, telinganya yang memerah tidak bisa disembunyikan. Aku tersenyum melihat interaksi
Ibu dan Ayah.
"Fufufu...
Ibu, bagaimana kenyamanan kursi rodanya?"
"Eh...? Ah,
ya... Kurasa bagus."
Ibu berusaha menenangkan diri, memeriksa bagian kursi roda
yang bisa dijangkaunya dan mencoba posisi duduk.
Ayah, yang tersenyum melihat Ibu yang panik, diam-diam
bergerak ke belakang Ibu dan memegang pegangan kursi roda.
Kemudian, Ayah tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke telinga
Ibu, berbisik.
"Kalau
begitu, Nyonya Nunnaly, mari kita pergi."
"Eh!? K-kita
mau pergi ke mana!?"
Melihat
Ibu yang bingung karena malu dan terkejut, aku dan Mel tertawa riang.
Kami
berdua dan Ayah mendorong kursi roda yang diduduki Ibu, dan berjalan-jalan
bersama keluarga di sekitar mansion Keluarga Baldia.
Saat Ibu
berkeliling di dalam mansion, awalnya dia tampak sedikit malu, tetapi karena
sudah lama tidak melihat-lihat seisi mansion, pada akhirnya dia menunjukkan
ekspresi bahagia.
Semua orang di mansion juga tersenyum dan senang melihat Ibu. Tak perlu dikatakan, suasana di dalam mansion menjadi lebih ceria setelah hari itu.


Post a Comment